Wednesday, February 29, 2012

A Crazy Little Thing Called Love 1 (First Love)



Masihkah Anda dapat mengingat masa dimana Anda mulai tertarik dengan seseorang dan merasa jatuh cinta kepadanya? Masa dimana Anda akan melakukan berbagai hal untuk dapat menarik perhatian orang yang Anda sukai — mulai dari melakukan berbagai hal cheesy seperti menyukai segala hal yang ia sukai hingga berusaha menjadi sosok yang selama ini berbeda dari kepribadian yang selama ini Anda tampilkan. Cinta memang sebuah kekuatan yang aneh. Pada beberapa orang, cinta dapat memberikan sebuah pengaruh buruk. Namun untungnya, pada banyak orang lainnya, cinta membuat mereka untuk menjadi sesosok manusia yang lebih baik bagi orang yang mereka cintai.

Dalam Crazy Little Thing Called Love, seorang gadis berusia 14 tahun, Nam (Pimchanok Lerwisetpibol), untuk pertama kalinya merasakan adanya getaran cinta di dalam hatinya kepada salah seorang seniornya, Chon (Mario Maurer). Masalahnya, dengan wajah Shone yang sangat tampan dan ditambah dengan kepribadian yang menarik serta kemampuan olahraga yang mengagumkan. Nam bukanlah satu-satunya gadis di sekolah tersebut yang jatuh hati terhadap Shone. Dengan wajah dan kepribadian yang biasa saja, jelas Nam bukanlah seorang kontender favorit yang dapat memenangkan hati Shone. Dengan bantuan teman-temannya, dan sebuah buku yang berisi berbagai metode untuk mendapatkan hati seorang pria, Nam mulai melakukan berbagai prubahan pada dirinya. Suatu perubahan yang secara perlahan, tanpa disadari Nam, malah membuatnya menjadi seorang yang lebih baik dari sebelumnya.

Ya… jalan cerita Crazy Little Thing Called Love sangatlah sederhana dan cenderung cheesy. Sama sederhana dan cheesy-nya dengan pengalaman siapapun pada saat mereka sedang mengalami jatuh cinta untuk pertama kalinya. Dengan jalan cerita yang sangat familiar, jelas keunggulan utama film ini bukan berada pada departemen penulisan naskah. Walau begitu, naskah cerita yang ditulis oleh dua sutradara film ini, Putthiphong Promsakha na Sakon Nakhon dan Wasin Pokpong, sama sekali tidak buruk mengingat mereka berhasil memadukan jalan cerita yang sederhana dan familiar tersebut dengan elemen komedi yang banyak tercermin dari dialog-dialog yang segar di sepanjang film ini serta, tentu saja, kisah cinta yang mampu menyentuh siapapun yang pernah merasakan jatuh cinta itu sendiri. Cukup manis, huh?

Sama seperti film-film drama komedi sejenis yang mengisahkan mengenai transformasi seorang karakter yang biasa saja pada awalnya menjadi seorang karakter yang menarik di akhir cerita, Crazy Little Thing Called Love juga berjuang untuk mempertahankan sisi menarik kisahnya ketika sang karakter utama telah berubah menarik. Sayangnya, usaha ini dapat dikatakan kurang begitu dapat dieksekusi dengan baik ketika bagian pertengahan film ini terasa sedikit hambar jika dibandingkan dengan bagian sebelumnya. Plot cerita tambahan mengenai guru Nam, Inn (Sudarat Budtporm), yang dikisahkan mengejar perhatian guru lainnya, juga kurang berhasil mengisi kekosongan ruang dalam film ini dan seringkali hanya terasa sebagai perulangan kisah cinta Nam namun berasal dari karakter yang lebih dewasa.

Letak keberhasilan utama Crazy Little Thing Called Love dalam menyampaikan jalan ceritanya adalah karena sutradara film ini berhasil mendapatkan jajaran pemeran yang mampu dengan sangat baik menghidupkan setiap karakter yang mereka bawakan, khususnya Pimchanok Lerwisetpibol yang berhasil memerankan karakter Nam dan menjadikannya sebagai sesosok karakter yang sangat menyenangkan di balik seluruh keluguannya dalam mengenal cinta pertamanya. Karakter Nam sendiri menjadi terasa begitu hidup berkat dukungan tiga karakter sahabatnya yang selalu dapat diandalkan dalam memberikan berbagai adegan komedi untuk film ini.

Sebagai lawan main Pimchanok Lerwisetpibol, aktor muda, Mario Maurer, memang sangat tepat untuk memerankan Shone yang menjadi idola seluruh gadis di sekolahnya. Walau sepertinya hal tersebut tidak membutuhkan kemampuan akting yang terlalu mendalam, penampilan Maurer sebagai Shone tidak sepenuhnya mengecewakan. Setidaknya ia juga berhasil dalam menampilkan sisi sensitif karakternya yang datang ketika karakter tersebut berhubungan dengan masalah masa lalu sang ayah atau perjuangannya dalam berusaha untuk membuktikan kemampuannya dalam bidang fotografi dan sepakbola.

Seperti film-film drama komedi romansa remaja karya John Hughes di tahun 1980-an, Crazy Little Thing Called Lovecukup mampu menuturkan sebuah kisah cinta pertama yang familiar dengan ritme komedi yang sangat menghibur. Durasi yang mencapai 118 menit memang sedikit terlalu panjang mengingat beberapa adegan di film ini justru terasa hambar akibat eksekusi atas jalan cerita yang dilakukan terlalu berlebihan dan bertele-tele. Beberapa karakter dan plot cerita tambahan juga kurang begitu mampu dikembangkan dengan baik, walaupun setiap pemerannya berhasil memberikan gambaran yang cukup baik atas karakter yang mereka perankan. Bukan sebuah karya yang istimewa namun cukup berhasil menjadi sebuah hiburan yang menyegarkan.

           

Crazy Little Thing Called Love (Work Point/Sahamongkol Film International, 2010)

Crazy Little Thing Called Love (Sing Lek Lek Thee Riak Wa… Ruk) (2010)

Directed by Putthiphong Promsakha na Sakon Nakhon, Wasin PokpongProduced by Somsak Tejcharattanaprasert, Panya Nirankol Written byPutthiphong Promsakha na Sakon Nakhon, Wasin Pokpong Starring Mario Maurer, Pimchanok Luevisetpaibool, Sudarat Budtporm, Peerawat Herapath, Pijitra Siriwerapan, Acharanat Ariyaritwikol, Kachamat Pormsaka Na-Sakonnakorn Cinematography Reungwit Ramasudh Studio Work Point/Sahamongkol Film International Country Thailand Language Thai.







source : Review: Crazy Little Thing Called Love (2010) « At The Movies


            amiratthemovies.wordpress.com

0 comments:

Post a Comment